Grundelan bailout bank Century

Thursday, October 1, 2009

Bank bermasalah: "too hot to handle"?

Hasil audit sementara BPK telah diserahkan DPR akhir September 2009. Isi audit interim itu mengkonfirmasikan dugaan saya bahwa pengawas bank di BI "asleep at the wheel". Jangan2 selama ini BI sibuk menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia, blueprint ini, roadmap itu, tapi lupa atau tidak menyadari bahwa mereka tidak punya protokol pengawasan bank. Apa yang harus dilakukan kalau kinerja bank memburuk? Apakah harus disehatkan dan diselamatkan "at all cost"? Apa yang harus dilakukan pengawas /pemeriksa ketika bank dalam proses penyehatan?



http://img.slate.com/media/1/123125/123073/2180604/2199139/080930_EX_wallstreetEX.jpg



Kasus Century (alias Mutiara) menunjukkan, BI tidak punya kendali terhadap manajemen/pemilik bank; baik ketika bank dalam proses penyehatan (sebelum 2008) ;maupun ketika bank dalam proses penyelamatan, bahkan ketika uang LPS telah ada di dalam bank.


Apakah hal tersebut (kehilangan kendali atas bank yang harusnya "dipilin tangan dan kakinya") merupakan fenomena baru??

Ternyata tidak. Kasus Century sebenarnya pengulangan dari kasus perbankan pasca Pakto 1988. Entah kenapa pengawas bank di BI tidak belajar dari sejarah. Mungkin karena tidak ingin "tersandera oleh masa lalu"?(ini lagu yang dinyanyikan pejabat BI kalau kena masalah).

Contohnya adalah kasus Bank Summa yang dilikuidasi tahun 1992. Antara tahun 1990-1991 BI sudah memberikan rating jelek untuk Summa, tapi tidak ditutup , atau diancam untuk ditutup. (Waktu itu, pemberian ijin operasional dan menutup bank harus dikoordinasikan dengan Departemen Keuangan). Yang dilakukan BI adalah "musyawarah" dengan pemilik bank Summa dan terus mengucurkan bantuan likuiditas sampai 25% dari total kewajiban. Tapi "anehnya" (sebetulnya tidak aneh) kondisi bank terus memburuk sampai akhirnya dilikuidasi 1992.
Konon, sebelum krisis moneter 1997, setiap ada bank sakit, metode itulah yang digunakan BI. "No closure policy";kasi bantuan keuangan/keringanan2 untuk menyimpangi peraturan; tapi kondisi bank memburuk sampai terakumulasi di tahun 1997.

Mengapa kondisi bank terus memburuk walaupun sudah mendapat keringanan bahkan bantuan uang dari BI? Karena nampaknya tidak ada time frame/tenggat waktu yang jelas sampai kapan penyehatan bank ini akan dilakukan. Penyehatan dengan cepat berubah jadi penyelamatan ketika uang negara (LPS dalam kasus Century) dibenamkan di bank, untuk menghindari likuidasi (bank sudah insolven). Karena BI tidak cepat mengambilalih atau mengganti manajemen bank, mereka dengan leluasa terus melakukan praktek perbankan tidak sehat. Ini yang disebut "moral hazard".
Selain itu, banyak dongeng perbankan (penelitian-maksudnya) menemukan, "bank risk taking" memiliki hubungan negatif dengan modal bank. Ketika modal bank mulai habis, bankir atau pemilik cenderung lebih agresif dalam penanaman dana. Investasi bank biasanya lebih beresiko. Mengapa?
Karena kalau toh bank dilikuidasi, mereka/pemilik hanya kehilangan modal saja. Sebaliknya lembaga asuransi deposito lah yang akan menanggung hampir semua kewajiban bank. Sedangkan kalau investasi beresiko tinggi mendatangkan untung, keuntungan itu dinikmati pemilik dan bankir (dalam bentuk bonus). Lembaga asuransi jelas tidak mendapat apa2. Sikap ini dikenal sebagai "gambling for resurrection". (di Indonesia, kalau tidak salah, undang-undang perbankan menyebut pemilik tanggung jawab sampai harta pribadi...tapi kita semua paham bagaimana hukum ditegakan di negeri ini)


Sekedar catatan sebelum lanjut mendongeng: bantuan likuiditas (semacam BLBI, dulu sebelum krisis moneter kalau tidak salah disebut KLBI) harus dibedakan dari "discount window" atau fasilitas diskonto. Fasilitas diskonto diberikan untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek. Bank bagus/sehat bisa kesulitan likuiditas temporer dan minta fasilitas ini. Pemberian fasilitas diskonto merupakan tugas Bank Sentral dalam menjalankan fungsinya sebagai "lender of the last resort". Pada krisis keuangan global barusan, yang terjadi di banyak negara, discount window (bantuan likuiditas temporer) dengan cepat berubah jadi bantuan likuiditas permanen entah dalam bentuk injeksi modal atau iuran dengan pihak pembeli bank.



Mari dibandingkan dengan dongeng dari Amerika mengenai penanganan bank bermasalah.

Amerika punya banyak institusi pengawas bank. Tergantung apakah bank itu berlisensi negara bagian atau federal, bentuk badan hukumnya (thrift lain dengan commercial bank), apakah jadi anggota FDIC atau tidak, jenis bisnisnya, dst. Sehingga di Amerika, satu bank bisa diawasi dan diperiksa oleh banyak institusi.


FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) adalah salah satu institusi pengawas bank, dan punya kewenangan untuk melikuidasi bank yang jadi anggotanya. Mereka punya protokol yang disebut PCA (Prompt Corrective Action) atau SEIR (Structured Early Intervention and Resolution). Intinya, dengan PCA/SEIR bank bermasalah ditangani seawal mungkin untuk melindungi uang FDIC. Prosedur ini disusun awal tahun 1990an setelah Amerika mengalami krisis "savings and loans" yang mengakibatkan kerugian negara USD 160 milyar. Krisis "savings and loans" ini demikian parah sampai lembaga asuransi khusus savings and loans (FSLIC) bangkrut dan dilebur ke dalam FDIC.


Apa yang dilakukan FDIC kalau ada bank jatuh sakit?

Pertama-tama, PCA mendefinisikan secara jelas kriteria "bank bermasalah"; biasanya dilihat dari % modal, baik modal tier 1 maupun modal tier 2. Misalnya bank dengan rasio modal antara 6-8% dikategorikan sebagai "undercapitalized" dan mulai "dicereweti" oleh FDIC. Deviden dan bonus untuk management tidak boleh dibagi; bank harus punya rencana meningkatkan modal; pertumbuhan aset dibatasi; harus minta ijin untuk buka cabang dan menawarkan produk baru; dilarang mencari pinjaman dari wholesale deposit (brokered deposit; lebih mahal daripada retail deposit). Kewajiban2 lain yang harus dipenuhi masih banyak. Intinya, begitu modal tidak memenuhi persyaratan, FDIC mulai melakukan pembatasan operasional bank dengan harapan bank melakukan konsolidasi/perbaikan kinerja keuangannya.
Kalau akhirnya modal bank sangat minim (rasio kurang dari 2%), bank dikategorikan "critically undercapitalized" dan mulai diarahkan untuk mengaku bangkrut (kecuali kalau bisa mendapatkan pemodal baru).

Kedua, pengawas/pemeriksa FDIC memberikan perhatian khusus pada bank dalam kelompok "troubled" (rating 4 dan 5, dua rating terendah). Bank-bank dalam kelompok ini diberi waktu 90 hari untuk memperbaiki kondisi bank sehingga dapat mencapai rating 3.

Dalam tenggang waktu itu, staf pengawas di FDIC mulai mengumpulkan informasi mengenai aset, kewajiban bank. FDIC juga mulai membentuk tim likuidasi yang terdiri dari berbagai macam profesi (akuntan, penasehat hukum, ahli informasi teknologi, logistik, marketing) dan menyusun strategi likuidasi. Tim likuidasi ini akan bekerja dua hari (48 jam) . Tim memiliki target, pada hari ketiga bank sudah bisa beroperasi dengan nama baru. Jumlah staf yang akan terlibat di hari likuidasi bisa mencapai 200 orang (tergantung besar-kecilnya bank yang akan ditutup).

Apabila ternyata dalam waktu 90 hari kondisi tidak juga membaik, FDIC mulai menawarkan aset dan/ atau kewajiban bank bermasalah ini ke bank lain (=diambilalih). Penawaran aset dan/atau kewajiban ini dilakukan dengan cara lelang online.

Konon, biasanya FDIC mencabut ijin bank hari Jumat (supaya Senin pagi sudah beres). Kalau likuidasi dilakukan Jumat, hari Selasa siang penawaran harus sudah masuk. Pemenang lelang adalah mereka yang memiliki proposal yang meminimalkan biaya FDIC. Dalam hal ini, upaya/target FDIC adalah menjual aset bank bermasalah sebanyak mungkin.

Kamis sore (sehari sebelum bank ditutup), FDIC bertemu dengan bank yang akan mengambil alih aset dan/atau kewajiban bank. Yang dibahas adalah seputar informasi detail mengenai neraca bank.

Hari Jumat tim likuidasi FDIC (bersama staf bank pengambilalih) masuk ke bank yang akan dilikuidasi. Mereka memilah mana aset yang bagus yang layak jual, mana yang buruk yang harus masuk "receivership" (semacam Asset Management Company). Kerja lembur (sering disebut "weekend sale") sampai hari Senin dinihari , atau 48 jam kerja.
Seorang pejabat FDIC mengatakan ukuran "sukses" likuidasi bank adalah kalau dalam waktu 48 jam itu, semua beres: Senin pagi jam 8.30 nasabah bisa datang ke bank tanpa melihat perubahan berarti kecuali nama bank yang baru. (Di Indonesia yang 48 jam ini baru rapatnya..belum kerjanya...)


Jauh bedanya ya... Mengapa demikian??

Seperti diketahui, bank Century (Mutiara) telah bermasalah jauh sebelum krisis keuangan global. Tapi tidak ada tindakan tegas dari pengawas. Saya mendapat kesan, pengawas bank di BI lebih berperan sebagai "konsultan" atau "correction officer" atau petugas rehabilitasi. Mungkin sikap ini melekat tidak hanya terhadap Century tapi juga terhadap bank bermasalah lainnya. Akibatnya, setiap ada bank bermasalah (biasanya karena ulah bankir atau pemilik), pengawaslah yang cenderung cari "obat", ikut pusing cari solusi.

Menurut saya, mustinya pengawas ya bersikap sebagai "enforcement officer" yang menjaga supaya aturan perbankan dipatuhi; kalau ada pelangaran dikenai sanksi sekaligus dilihat perkembangannya. Tanggungjawab penyehatan bank seharusnya dibebankan ke pemilik dan bankir/manajemen bank. Bukankah mereka yang mengajukan ijin operasi bank? Dan bukan pengawas bank di BI? Begitu bank sakit kok pengawas bank BI ikut repot ngobati?

Kalau akhirnya ada bank yang harus diselamatkan (di-bailout, misal karena krisis keuangan) idealnya musti pilih2. Kalau sehat dan prospektif ya diselamatkan. Tapi kalau sudah jelas2 tidak sehat, apalagi berkali-kali melanggar aturan, kenapa musti repot2 diselamatkan?

Menurut saya, kerancuan pola pikir semacam ini disebabkan oleh tidak adanya protokol/strategi pengawasan bank. Setumpuk aturan perbankan ada, tapi "grand strategy" nampaknya tidak ada. Akibatnya kalau ada bank bermasalah pengawas bank di BI "melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan", dan "tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan". Misalnya, ada yang berpendapat, bank sakit perlu disehatkan (oleh pengawas) supaya nilai jualnya tinggi. Buat saya, argumen itu "rubbish". Nilai jual bank setelah penyehatan bukan urusan pengawas. Mau sehat atau tidak, nilai jual berapapun, tanya ke pemilik dan bankirnya. Kalau tidak mau sehat, ya dilikuidasi saja. Tidak usah dibantu, apalagi dikasi uang trilyunan.

Dari dongeng FDIC itu juga bisa disimpulkan, "likuidasi bank" tidak selalu berarti bank yang dilikuidasi berhenti melayani nasabah. Nama bank (brand name) hilang, tapi digantikan oleh nama lain yang akan meneruskan pelayanan ke nasabah baik peminjam maupun deposan. (Bedakan dengan akuisisi karena akuisisi biasanya tidak melelang aset bank yang diakuisisi). Akan tetapi, tanpa strategi pengawasan, bank bermasalah jadi sesuatu yang "too hot to handle" untuk pengawasnya. Padahal penanganan bank bermasalah tidak harus berakhir dengan "chaos": nasabah demo, kekacauan sistem keuangan, "bank run", atau yang paling ironis, pengawas bank sampai mengorbankan kredibilitas mereka.

Sayang, nampaknya pengawas bank di BI tidak belajar dari sejarah...padahal kasus2 semacam ini baru sekitar 20 tahun yang lalu; belum terlalu lama. Apa mereka menderita amnesia??



Sri (not so hot)



Sumber dongeng:

http://www.bankinfosecurity.com/articles.php?art_id=975&opg=1 http://papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/WPIEA0522001.pdf?abstractid=879456&mirid=4 http://www.stern.nyu.edu/eco/wkpapers/workingpapers03/03-06White.pdf

http://economix.u-paris10.fr/pdf/sem_economix/Mayes-agency-problems.pdf

http://dialnet.unirioja.es/servlet/articulo?codigo=2242466&orden=107192&info=link






No comments:

Post a Comment