http://static.seekingalpha.com/uploads/2009/5/22/saupload_bank_trust.png
Ribut-ribut bailout bank Century (Mutiara) hanya menyoroti dua pihak yaitu pemerintah (Departemen Keuangan) dan Bank Indonesia (pengawas bank). Padahal ada satu lagi pihak yang penting untuk dibahas, tapi tidak terlalu banyak dibicarakan, yaitu: LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
LPS resmi terbentuk dengan UU no 24 bulan September 2004. Menurut UU ini, salah satu tugas LPS adalah "aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya". Caranya antara lain: merumuskan kebijakan penanganan bank gagal baik yang beresiko sistemik maupun yang tidak beresiko sistemik. Untuk melaksanakan tugasnya, LPS diberi macam2 wewenang, antara lain: mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan. LPS juga berwenang melakukan rekonsiliasi/konfirmasi/verifikasi data2 tsb.
LPS setau saya selalu minta tingkat kesehatan bank yang akan jadi anggota. Mestinya, bank Century waktu akan mendaftar sebagai anggota LPS juga menyerahkan tingkat kesehatan. Tapi karena ada toleransi2 / forebearance yang diberikan pengawas BI (surat berharga tidak diklasifikasikan macet), tingkat kesehatan bank Century jadi lebih baik dari yang sebenarnya. Dengan berlalunya waktu, nampaknya BI tidak menginformasikan kepada LPS kondisi bank Century yang sebenarnya (konon ada penambahan modal yang tidak/belum disetor, ada kesepakatan yang tidak dipenuhi, dst). Informasi yang tidak diberikan utuh kepada LPS membuat LPS tidak dapat membuat skenario kebijakan/pelaksanaan bank gagal untuk bank Century. Sampai akhirnya ada krisis keuangan global dan pengawas bank di BI menggolongkan bank Century sebagai bank gagal dengan resiko sistemik. Karena menurut UU LPS bank gagal beresiko sistemik harus diselamatkan, keluarlah 6.7 trilyun untuk Century.
Ada beberapa hal yang menarik pada UU LPS ini.
Seandainya saja definisi "bank gagal" ini diterapkan ke Century sejak awal 2005, mungkin tidak akan ada cerita bailout seharga 6.7 trilyun itu karena Century mestinya tidak akan diklasifikasikan "beresiko sistemik". Entah kenapa hal itu tidak dilakukan walaupun pihak bank berkali-kali tidak dapat memenuhi komitmen mereka (lihat penjelasan UU LPS mengenai penyelesaian bank gagal). Juga tidak jelas sampai sekarang, kenapa akhirnya bank Century digolongkan sebagai "bank beresiko sistemik"; selain dalih (mengingat kondisi industri keuangan waktu itu), kalau ditutup akan ada 23 bank lain yang kena rush nasabah. Istilah "resiko sistemik" akhirnya jadi istilah karet yang bisa ditekuk sesuai dengan kemauan pengawas bank (mungkin sekaligus untuk menakut-nakuti orang yang meragukan penilaian/kebijakan pengawas bank di BI).
Mengenai "resiko sistemik", saya ingin membandingkan dengan FDICIA (FDIC-Improvement Act: Undang-undang FDIC yang diperbaiki) . Di Amerika, FDIC harus menggunakan konsep "least cost resolution" dalam menangani penutupan bank. Kecuali kalau bank yang ditangani adalah bank "beresiko sistemik". (Banyak orang di Amerika yang mengkaitkan "sistemik" pada FDICIA dengan kebijakan "too big to fail": bank sistemik hampir pasti bank besar). Kalau ada bank yang diklasifikasikan "sistemik", least cost resolution tidak berlaku. Bank harus diselamatkan.
Menurut saya, dilihat dari minimnya hak untuk mendapatkan data yang akurat dan tepat waktu, LPS ini sebenarnya "hanya" difungsikan sebagai "pay box" (juru bayar kalau ada likuidasi bank). Tapi tugas yang dibebankan ke LPS lebih dari sekedar "pay box": LPS diberi tugas untuk intervensi bank dalam bentuk pengambilalihan (bank gagal). Intervensi bank (sebelum jadi bank gagal) untuk mencegah kerugian/biaya yang lebih besar tidak dapat dilakukan. Dengan kata lain, intervensi yang bisa dilakukan LPS adalah "ex post" bukan "ex ante". Merujuk ke dongeng2 lembaga asuransi deposito, "pay box" dengan tugas tambahan sering disebut sebagai "pay box plus system" atau "least cost resolution system".
Karena LPS tidak dapat melakukan intervensi "ex ante", tugas ini seharusnya dilakukan pengawas bank (karena mereka memiliki data yang lebih lengkap). Dalam kasus bank Century (Mutiara) nampaknya tidak ada "goodwill" untuk melakukan intervensi "ex ante" (sebelum bank betul-betul insolven). Dengan kata lain, pengawas bank di BI "membiarkan" kerugian LPS (dalam bentuk bailout) jadi besar.
Bagaimana sebetulnya "best practice" penyelenggaraan asuransi deposito?
Prinsip ke-3 dan 4: lembaga asuransi harus diberi mandat yang spesifik, dan harus ada konsistensi antara tujuan (public policy objective) kewenangan (power) dan tanggung jawab (responsibility); selain itu, lembaga asuransi deposito juga harus diberi kewenangan memadai untuk melaksanakan mandat yang diberikan. Konsistensi ini yang nampaknya kurang di UU LPS 2004.
LPS diminta "aktif memelihara stabilitas perbankan (sesuai dengan kewenangannya)"; dengan demikian mestinya lembaga ini punya cara lebih dari sekedar "merumuskan kebijakan penanganan bank gagal...". Apalagi kalau dicermati, definisi "bank gagal" adalah bank yang sudah tidak bisa lagi disehatkan oleh pengawas bank. LPS menghadapi resiko bangkrut kalau bank yang gagal ini bank besar dan deposito yang harus diganti/dibayarkan lebih besar dari persediaan dana LPS. Siapa yang akan bailout LPS? Mestinya pemerintah Indonesia. Tapi apa yang akan terjadi dengan "stabilitas keuangan" kalau sampai terjadi? (Lembaga asuransi deposito bisa bangkrut karena terlalu banyak bank gagal; dan itu sudah terjadi di Amerika pada tahun 1990an).
Itu sebabnya, menurut saya, LPS mestinya mendapat informasi tepat waktu dan akurat mengenai bank yang jadi anggotanya; juga memiliki kewenangan untuk "melakukan sesuatu" atas informasi yang diterimanya tanpa harus minta ijin dari/diajak oleh pengawas bank.(Ada dongeng bahwa kewenangan lembaga asuransi deposito untuk memutuskan mengintervensi bank dan mencabut keanggotaan bank peserta asuransi deposito memiliki hubungan positif dengan kestabilan sistem perbankan).
Prinsip ke-6, 15, 16: LPS dan BI baru mem-formalkan berbagi informasi setelah kejadian bank Century. Konon dalam MoU antara LPS-BI, informasi yang akan dibagi oleh BI adalah stress testing. Saya berharap semoga saja stress testing ini disajikan bukan dalam bentuk agregat tapi untuk tiap individu bank. Kalau dalam bentuk agregat tidak akan terlalu berguna. Dengan data agregat, bagaimana LPS bisa menilai atau menganalisa potensi biaya/kerugian yang akan timbul kalau bank tertentu (individual bank) ditutup atau harus diselamatkan?
Kalau LPS juga diberi kewenangan yang lebih besar untuk melakukan early intervention (misalnya), inkonsistensi antara tugas dan perangkat yang dimiliki LPS bisa dikurangi. Tapi UU LPS mungkin harus diubah (tidak lagi cukup dengan nota kesepakatan). Hal ini disebabkan, fungsi LPS tidak lagi sekedar "pay box plus" tapi jadi "risk minimizer" (meminimalkan resiko lembaga). Sebaliknya kalau LPS betul2 hanya akan difungsikan sebagai "juru bayar", impian2 yang berkaitan dengan peran LPS untuk "aktif menjaga stabilitas perbankan" mestinya disesuaikan atau direduksi.
Referensi:
http://www.lps.go.id/v2/data/peraturan/UU%2024%202004.pdf
http://www.lps.go.id/v2/data/peraturan/Penjelasan%20UU%2024.pdf
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/10/22/13432624/bi.lps.dapat.periksa.bank
IADI best practice and survey:
http://www.bis.org/publ/bcbs156.pdf
http://www.iadi.org/countrydiinfo.xls
http://www.iadi.org/docs/Guidance_Bank_Resol.pdf
Types of Deposit Insurance:
http://www.div.gov.vn/EN/Presentations/Risk_Minimizer_Model_Frederick.ppt
http://140.117.75.203/program/FullPaper/022-1459113975.pdf
Paper: