Grundelan bailout bank Century

Monday, October 26, 2009

LPS dan bank Century:mimpi menjaga stabilitas perbankan


Akhirnya BPK menyelesaikan audit Bank Century (tepatnya 70% selesai). Anwar Nasution pada hari serah terima jabatan sempat memaparkan keterlibatannya sewaktu menjabat DGS di BI. Intinya, menurut Anwar, tiga bank itu (yang akhirnya jadi bank Century) memang sudah bermasalah dari awal (tahun 2004). Tapi pejabat pengawas bank di BI waktu itu yakin akan bisa mengendalikan bank. Beberapa waktu kemudian diketahui ada surat berharga yang macet. Pengklasifikasian macet ini ditunda, diberi toleransi oleh pejabat pengawas BI. Nampaknya, masalah2 ini tidak bisa diselesaikan antara tahun 2004-2007. Dengan kata lain, pengawas BI mengetahui ada "bom waktu" di portfolio mereka. Tahun 2008 krisis keuangan yang berawal di Amerika menular ke Indonesia. Bank Century kesulitan likuiditas; BI memberi label "beresiko sistemik", dialihkan dan diselamatkan oleh LPS dengan harga 6.7 trilyun. Setelah penyelamatan yang menyulut kontroversi ini, bagaimana seharusnya peran/keterlibatan LPS dalam pengawasan, pemeriksaan, penyehatan bank?
http://static.seekingalpha.com/uploads/2009/5/22/saupload_bank_trust.png

Ribut-ribut bailout bank Century (Mutiara) hanya menyoroti dua pihak yaitu pemerintah (Departemen Keuangan) dan Bank Indonesia (pengawas bank). Padahal ada satu lagi pihak yang penting untuk dibahas, tapi tidak terlalu banyak dibicarakan, yaitu: LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
LPS resmi terbentuk dengan UU no 24 bulan September 2004. Menurut UU ini, salah satu tugas LPS adalah "aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya". Caranya antara lain: merumuskan kebijakan penanganan bank gagal baik yang beresiko sistemik maupun yang tidak beresiko sistemik. Untuk melaksanakan tugasnya, LPS diberi macam2 wewenang, antara lain: mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan. LPS juga berwenang melakukan rekonsiliasi/konfirmasi/verifikasi data2 tsb.

LPS setau saya selalu minta tingkat kesehatan bank yang akan jadi anggota. Mestinya, bank Century waktu akan mendaftar sebagai anggota LPS juga menyerahkan tingkat kesehatan. Tapi karena ada toleransi2 / forebearance yang diberikan pengawas BI (surat berharga tidak diklasifikasikan macet), tingkat kesehatan bank Century jadi lebih baik dari yang sebenarnya. Dengan berlalunya waktu, nampaknya BI tidak menginformasikan kepada LPS kondisi bank Century yang sebenarnya (konon ada penambahan modal yang tidak/belum disetor, ada kesepakatan yang tidak dipenuhi, dst). Informasi yang tidak diberikan utuh kepada LPS membuat LPS tidak dapat membuat skenario kebijakan/pelaksanaan bank gagal untuk bank Century. Sampai akhirnya ada krisis keuangan global dan pengawas bank di BI menggolongkan bank Century sebagai bank gagal dengan resiko sistemik. Karena menurut UU LPS bank gagal beresiko sistemik harus diselamatkan, keluarlah 6.7 trilyun untuk Century.

Ada beberapa hal yang menarik pada UU LPS ini.


Pertama, ada definisi "bank gagal" tapi tidak ada definisi/kriteria/protokol penetapan bank dengan "resiko sistemik". Bank gagal didefinisikan sebagai "bank yang mengalami kesulitan keuangan; membahayakan kelangsungan usahanya; tidak dapat disehatkan lagi oleh lembaga pengawas bank (dlm hal ini BI)". Bank gagal bisa "bank beresiko sistemik" bisa juga tidak memiliki resiko sistemik.

Seandainya saja definisi "bank gagal" ini diterapkan ke Century sejak awal 2005, mungkin tidak akan ada cerita bailout seharga 6.7 trilyun itu karena Century mestinya tidak akan diklasifikasikan "beresiko sistemik". Entah kenapa hal itu tidak dilakukan walaupun pihak bank berkali-kali tidak dapat memenuhi komitmen mereka (lihat penjelasan UU LPS mengenai penyelesaian bank gagal). Juga tidak jelas sampai sekarang, kenapa akhirnya bank Century digolongkan sebagai "bank beresiko sistemik"; selain dalih (mengingat kondisi industri keuangan waktu itu), kalau ditutup akan ada 23 bank lain yang kena rush nasabah. Istilah "resiko sistemik" akhirnya jadi istilah karet yang bisa ditekuk sesuai dengan kemauan pengawas bank (mungkin sekaligus untuk menakut-nakuti orang yang meragukan penilaian/kebijakan pengawas bank di BI).

Mengenai "resiko sistemik", saya ingin membandingkan dengan FDICIA (FDIC-Improvement Act: Undang-undang FDIC yang diperbaiki) . Di Amerika, FDIC harus menggunakan konsep "least cost resolution" dalam menangani penutupan bank. Kecuali kalau bank yang ditangani adalah bank "beresiko sistemik". (Banyak orang di Amerika yang mengkaitkan "sistemik" pada FDICIA dengan kebijakan "too big to fail": bank sistemik hampir pasti bank besar). Kalau ada bank yang diklasifikasikan "sistemik", least cost resolution tidak berlaku. Bank harus diselamatkan.
Tapi, penggolongan "bank beresiko sistemik" ada syaratnya: 2/3 pimpinan FDIC dan 2/3 pimpinan Federal Reserve harus sepakat bahwa penggunaan least cost resolution akan berdampak buruk bagi kondisi ekonomi dan stabilitas keuangan. Setelah sepakat, pimpinan FDIC dan Fed menulis surat ke Departemen Keuangan yang akan konsultasi dengan Presiden Amerika. Kesepakatan/keputusan penggolongan "sistemik" juga akan dievaluasi/diawasi/diperiksa oleh GAO (General Accounting Office, semacam BPK nya Amerika).
Sejak FDICIA diterbitkan tahun 1991, klausul pengecualian "least cost resolution" baru dipakai pada saat krisis keuangan global barusan. (=di Amerika, tidak mudah menggolongkan bank sebagai "beresiko sistemik"). Bahkan pada saat krisis keuangan 2007/2008 pun, tidak semua bank besar yang gagal digolongkan sebagai "sistemik". Ada yang dibantu, ada yang dilikuidasi.
Pada UU LPS, "bank beresiko sistemik" dibahas dalam konteks penanganannya. Bukan bagaimana resiko sitemik itu sampai "dilabelkan" oleh pengawas bank, atau (mungkin) komite kestabilan sistem keuangan. Karena protokol "pemberian label" tidak ada, ketika yang harus dikasi label adalah bank macam Century, terjadi debat bertele-tele antara anggota KKSK. Saya jadi membayangkan seandainya saja waktu itu ada protokol "systemic risk" macam FDICIA di UU LPS...
Kedua, undang-undang LPS banyak membahas mengenai penanganan bank kalau diselamatkan dan kalau tidak diselamatkan (pasal 21-61). Tapi sedikit sekali membahas mengenai mekanisme kerjasama antar lembaga terkait dalam safety net system (misalnya dengan pengawas bank) untuk menangani bank gagal (hanya ada 2 pasal, yaitu pasal 6 dan 7).

Menurut saya, dilihat dari minimnya hak untuk mendapatkan data yang akurat dan tepat waktu, LPS ini sebenarnya "hanya" difungsikan sebagai "pay box" (juru bayar kalau ada likuidasi bank). Tapi tugas yang dibebankan ke LPS lebih dari sekedar "pay box": LPS diberi tugas untuk intervensi bank dalam bentuk pengambilalihan (bank gagal). Intervensi bank (sebelum jadi bank gagal) untuk mencegah kerugian/biaya yang lebih besar tidak dapat dilakukan. Dengan kata lain, intervensi yang bisa dilakukan LPS adalah "ex post" bukan "ex ante". Merujuk ke dongeng2 lembaga asuransi deposito, "pay box" dengan tugas tambahan sering disebut sebagai "pay box plus system" atau "least cost resolution system".

Karena LPS tidak dapat melakukan intervensi "ex ante", tugas ini seharusnya dilakukan pengawas bank (karena mereka memiliki data yang lebih lengkap). Dalam kasus bank Century (Mutiara) nampaknya tidak ada "goodwill" untuk melakukan intervensi "ex ante" (sebelum bank betul-betul insolven). Dengan kata lain, pengawas bank di BI "membiarkan" kerugian LPS (dalam bentuk bailout) jadi besar.

Bagaimana sebetulnya "best practice" penyelenggaraan asuransi deposito?
Pada bulan Juni 2009, Bank for International Settlements di Swis bersama-sama dengan International Association of Deposit Insurer menerbitkan Core Principles for Effective Deposit Insurance System. Ada 18 prinsip supaya asuransi deposito efektif; tapi yang relevan untuk dongeng kali ini ada 5: prinsip ke-3 (mandate), ke-4 (power), ke-6 (relationship with other safety net participants), ke-15 (early detection and timely intervention and resolution), dan ke-16 (effective resolution process).
Prinsip ke-3 dan 4: lembaga asuransi harus diberi mandat yang spesifik, dan harus ada konsistensi antara tujuan (public policy objective) kewenangan (power) dan tanggung jawab (responsibility); selain itu, lembaga asuransi deposito juga harus diberi kewenangan memadai untuk melaksanakan mandat yang diberikan. Konsistensi ini yang nampaknya kurang di UU LPS 2004.
LPS diminta "aktif memelihara stabilitas perbankan (sesuai dengan kewenangannya)"; dengan demikian mestinya lembaga ini punya cara lebih dari sekedar "merumuskan kebijakan penanganan bank gagal...". Apalagi kalau dicermati, definisi "bank gagal" adalah bank yang sudah tidak bisa lagi disehatkan oleh pengawas bank. LPS menghadapi resiko bangkrut kalau bank yang gagal ini bank besar dan deposito yang harus diganti/dibayarkan lebih besar dari persediaan dana LPS. Siapa yang akan bailout LPS? Mestinya pemerintah Indonesia. Tapi apa yang akan terjadi dengan "stabilitas keuangan" kalau sampai terjadi? (Lembaga asuransi deposito bisa bangkrut karena terlalu banyak bank gagal; dan itu sudah terjadi di Amerika pada tahun 1990an).
Itu sebabnya, menurut saya, LPS mestinya mendapat informasi tepat waktu dan akurat mengenai bank yang jadi anggotanya; juga memiliki kewenangan untuk "melakukan sesuatu" atas informasi yang diterimanya tanpa harus minta ijin dari/diajak oleh pengawas bank.(Ada dongeng bahwa kewenangan lembaga asuransi deposito untuk memutuskan mengintervensi bank dan mencabut keanggotaan bank peserta asuransi deposito memiliki hubungan positif dengan kestabilan sistem perbankan).

Prinsip ke-6, 15, 16: LPS dan BI baru mem-formalkan berbagi informasi setelah kejadian bank Century. Konon dalam MoU antara LPS-BI, informasi yang akan dibagi oleh BI adalah stress testing. Saya berharap semoga saja stress testing ini disajikan bukan dalam bentuk agregat tapi untuk tiap individu bank. Kalau dalam bentuk agregat tidak akan terlalu berguna. Dengan data agregat, bagaimana LPS bisa menilai atau menganalisa potensi biaya/kerugian yang akan timbul kalau bank tertentu (individual bank) ditutup atau harus diselamatkan?
Perkembangan terakhir dalam MoU ada usulan melibatkan LPS dalam pemeriksaan "bank dalam pengawasan khusus". Menurut saya, walaupun LPS punya informasi akurat dan tepat waktu mengenai kondisi bank, ikut memeriksa bank, semuanya akan percuma tanpa kewenangan untuk ikut menentukan strategi penyehatan bank (early intervention). Celakanya, BI sebagai pengawas bank (pihak yang mestinya bisa intervensi dini pada bank yang mulai bermasalah) nampaknya tidak memiliki strategi atau protokol penyehatan bank dalam bentuk "prompt corrective action".

Kalau LPS juga diberi kewenangan yang lebih besar untuk melakukan early intervention (misalnya), inkonsistensi antara tugas dan perangkat yang dimiliki LPS bisa dikurangi. Tapi UU LPS mungkin harus diubah (tidak lagi cukup dengan nota kesepakatan). Hal ini disebabkan, fungsi LPS tidak lagi sekedar "pay box plus" tapi jadi "risk minimizer" (meminimalkan resiko lembaga). Sebaliknya kalau LPS betul2 hanya akan difungsikan sebagai "juru bayar", impian2 yang berkaitan dengan peran LPS untuk "aktif menjaga stabilitas perbankan" mestinya disesuaikan atau direduksi.
Sept 20, 2009:Sri


Referensi:

http://www.lps.go.id/v2/data/peraturan/UU%2024%202004.pdf
http://www.lps.go.id/v2/data/peraturan/Penjelasan%20UU%2024.pdf
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/10/22/13432624/bi.lps.dapat.periksa.bank
IADI best practice and survey:
http://www.bis.org/publ/bcbs156.pdf
http://www.iadi.org/countrydiinfo.xls
http://www.iadi.org/docs/Guidance_Bank_Resol.pdf


Types of Deposit Insurance:
http://www.div.gov.vn/EN/Presentations/Risk_Minimizer_Model_Frederick.ppt
http://140.117.75.203/program/FullPaper/022-1459113975.pdf

Paper:

Thursday, October 1, 2009

Bank bermasalah: "too hot to handle"?

Hasil audit sementara BPK telah diserahkan DPR akhir September 2009. Isi audit interim itu mengkonfirmasikan dugaan saya bahwa pengawas bank di BI "asleep at the wheel". Jangan2 selama ini BI sibuk menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia, blueprint ini, roadmap itu, tapi lupa atau tidak menyadari bahwa mereka tidak punya protokol pengawasan bank. Apa yang harus dilakukan kalau kinerja bank memburuk? Apakah harus disehatkan dan diselamatkan "at all cost"? Apa yang harus dilakukan pengawas /pemeriksa ketika bank dalam proses penyehatan?



http://img.slate.com/media/1/123125/123073/2180604/2199139/080930_EX_wallstreetEX.jpg



Kasus Century (alias Mutiara) menunjukkan, BI tidak punya kendali terhadap manajemen/pemilik bank; baik ketika bank dalam proses penyehatan (sebelum 2008) ;maupun ketika bank dalam proses penyelamatan, bahkan ketika uang LPS telah ada di dalam bank.


Apakah hal tersebut (kehilangan kendali atas bank yang harusnya "dipilin tangan dan kakinya") merupakan fenomena baru??

Ternyata tidak. Kasus Century sebenarnya pengulangan dari kasus perbankan pasca Pakto 1988. Entah kenapa pengawas bank di BI tidak belajar dari sejarah. Mungkin karena tidak ingin "tersandera oleh masa lalu"?(ini lagu yang dinyanyikan pejabat BI kalau kena masalah).

Contohnya adalah kasus Bank Summa yang dilikuidasi tahun 1992. Antara tahun 1990-1991 BI sudah memberikan rating jelek untuk Summa, tapi tidak ditutup , atau diancam untuk ditutup. (Waktu itu, pemberian ijin operasional dan menutup bank harus dikoordinasikan dengan Departemen Keuangan). Yang dilakukan BI adalah "musyawarah" dengan pemilik bank Summa dan terus mengucurkan bantuan likuiditas sampai 25% dari total kewajiban. Tapi "anehnya" (sebetulnya tidak aneh) kondisi bank terus memburuk sampai akhirnya dilikuidasi 1992.
Konon, sebelum krisis moneter 1997, setiap ada bank sakit, metode itulah yang digunakan BI. "No closure policy";kasi bantuan keuangan/keringanan2 untuk menyimpangi peraturan; tapi kondisi bank memburuk sampai terakumulasi di tahun 1997.

Mengapa kondisi bank terus memburuk walaupun sudah mendapat keringanan bahkan bantuan uang dari BI? Karena nampaknya tidak ada time frame/tenggat waktu yang jelas sampai kapan penyehatan bank ini akan dilakukan. Penyehatan dengan cepat berubah jadi penyelamatan ketika uang negara (LPS dalam kasus Century) dibenamkan di bank, untuk menghindari likuidasi (bank sudah insolven). Karena BI tidak cepat mengambilalih atau mengganti manajemen bank, mereka dengan leluasa terus melakukan praktek perbankan tidak sehat. Ini yang disebut "moral hazard".
Selain itu, banyak dongeng perbankan (penelitian-maksudnya) menemukan, "bank risk taking" memiliki hubungan negatif dengan modal bank. Ketika modal bank mulai habis, bankir atau pemilik cenderung lebih agresif dalam penanaman dana. Investasi bank biasanya lebih beresiko. Mengapa?
Karena kalau toh bank dilikuidasi, mereka/pemilik hanya kehilangan modal saja. Sebaliknya lembaga asuransi deposito lah yang akan menanggung hampir semua kewajiban bank. Sedangkan kalau investasi beresiko tinggi mendatangkan untung, keuntungan itu dinikmati pemilik dan bankir (dalam bentuk bonus). Lembaga asuransi jelas tidak mendapat apa2. Sikap ini dikenal sebagai "gambling for resurrection". (di Indonesia, kalau tidak salah, undang-undang perbankan menyebut pemilik tanggung jawab sampai harta pribadi...tapi kita semua paham bagaimana hukum ditegakan di negeri ini)


Sekedar catatan sebelum lanjut mendongeng: bantuan likuiditas (semacam BLBI, dulu sebelum krisis moneter kalau tidak salah disebut KLBI) harus dibedakan dari "discount window" atau fasilitas diskonto. Fasilitas diskonto diberikan untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek. Bank bagus/sehat bisa kesulitan likuiditas temporer dan minta fasilitas ini. Pemberian fasilitas diskonto merupakan tugas Bank Sentral dalam menjalankan fungsinya sebagai "lender of the last resort". Pada krisis keuangan global barusan, yang terjadi di banyak negara, discount window (bantuan likuiditas temporer) dengan cepat berubah jadi bantuan likuiditas permanen entah dalam bentuk injeksi modal atau iuran dengan pihak pembeli bank.



Mari dibandingkan dengan dongeng dari Amerika mengenai penanganan bank bermasalah.

Amerika punya banyak institusi pengawas bank. Tergantung apakah bank itu berlisensi negara bagian atau federal, bentuk badan hukumnya (thrift lain dengan commercial bank), apakah jadi anggota FDIC atau tidak, jenis bisnisnya, dst. Sehingga di Amerika, satu bank bisa diawasi dan diperiksa oleh banyak institusi.


FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) adalah salah satu institusi pengawas bank, dan punya kewenangan untuk melikuidasi bank yang jadi anggotanya. Mereka punya protokol yang disebut PCA (Prompt Corrective Action) atau SEIR (Structured Early Intervention and Resolution). Intinya, dengan PCA/SEIR bank bermasalah ditangani seawal mungkin untuk melindungi uang FDIC. Prosedur ini disusun awal tahun 1990an setelah Amerika mengalami krisis "savings and loans" yang mengakibatkan kerugian negara USD 160 milyar. Krisis "savings and loans" ini demikian parah sampai lembaga asuransi khusus savings and loans (FSLIC) bangkrut dan dilebur ke dalam FDIC.


Apa yang dilakukan FDIC kalau ada bank jatuh sakit?

Pertama-tama, PCA mendefinisikan secara jelas kriteria "bank bermasalah"; biasanya dilihat dari % modal, baik modal tier 1 maupun modal tier 2. Misalnya bank dengan rasio modal antara 6-8% dikategorikan sebagai "undercapitalized" dan mulai "dicereweti" oleh FDIC. Deviden dan bonus untuk management tidak boleh dibagi; bank harus punya rencana meningkatkan modal; pertumbuhan aset dibatasi; harus minta ijin untuk buka cabang dan menawarkan produk baru; dilarang mencari pinjaman dari wholesale deposit (brokered deposit; lebih mahal daripada retail deposit). Kewajiban2 lain yang harus dipenuhi masih banyak. Intinya, begitu modal tidak memenuhi persyaratan, FDIC mulai melakukan pembatasan operasional bank dengan harapan bank melakukan konsolidasi/perbaikan kinerja keuangannya.
Kalau akhirnya modal bank sangat minim (rasio kurang dari 2%), bank dikategorikan "critically undercapitalized" dan mulai diarahkan untuk mengaku bangkrut (kecuali kalau bisa mendapatkan pemodal baru).

Kedua, pengawas/pemeriksa FDIC memberikan perhatian khusus pada bank dalam kelompok "troubled" (rating 4 dan 5, dua rating terendah). Bank-bank dalam kelompok ini diberi waktu 90 hari untuk memperbaiki kondisi bank sehingga dapat mencapai rating 3.

Dalam tenggang waktu itu, staf pengawas di FDIC mulai mengumpulkan informasi mengenai aset, kewajiban bank. FDIC juga mulai membentuk tim likuidasi yang terdiri dari berbagai macam profesi (akuntan, penasehat hukum, ahli informasi teknologi, logistik, marketing) dan menyusun strategi likuidasi. Tim likuidasi ini akan bekerja dua hari (48 jam) . Tim memiliki target, pada hari ketiga bank sudah bisa beroperasi dengan nama baru. Jumlah staf yang akan terlibat di hari likuidasi bisa mencapai 200 orang (tergantung besar-kecilnya bank yang akan ditutup).

Apabila ternyata dalam waktu 90 hari kondisi tidak juga membaik, FDIC mulai menawarkan aset dan/ atau kewajiban bank bermasalah ini ke bank lain (=diambilalih). Penawaran aset dan/atau kewajiban ini dilakukan dengan cara lelang online.

Konon, biasanya FDIC mencabut ijin bank hari Jumat (supaya Senin pagi sudah beres). Kalau likuidasi dilakukan Jumat, hari Selasa siang penawaran harus sudah masuk. Pemenang lelang adalah mereka yang memiliki proposal yang meminimalkan biaya FDIC. Dalam hal ini, upaya/target FDIC adalah menjual aset bank bermasalah sebanyak mungkin.

Kamis sore (sehari sebelum bank ditutup), FDIC bertemu dengan bank yang akan mengambil alih aset dan/atau kewajiban bank. Yang dibahas adalah seputar informasi detail mengenai neraca bank.

Hari Jumat tim likuidasi FDIC (bersama staf bank pengambilalih) masuk ke bank yang akan dilikuidasi. Mereka memilah mana aset yang bagus yang layak jual, mana yang buruk yang harus masuk "receivership" (semacam Asset Management Company). Kerja lembur (sering disebut "weekend sale") sampai hari Senin dinihari , atau 48 jam kerja.
Seorang pejabat FDIC mengatakan ukuran "sukses" likuidasi bank adalah kalau dalam waktu 48 jam itu, semua beres: Senin pagi jam 8.30 nasabah bisa datang ke bank tanpa melihat perubahan berarti kecuali nama bank yang baru. (Di Indonesia yang 48 jam ini baru rapatnya..belum kerjanya...)


Jauh bedanya ya... Mengapa demikian??

Seperti diketahui, bank Century (Mutiara) telah bermasalah jauh sebelum krisis keuangan global. Tapi tidak ada tindakan tegas dari pengawas. Saya mendapat kesan, pengawas bank di BI lebih berperan sebagai "konsultan" atau "correction officer" atau petugas rehabilitasi. Mungkin sikap ini melekat tidak hanya terhadap Century tapi juga terhadap bank bermasalah lainnya. Akibatnya, setiap ada bank bermasalah (biasanya karena ulah bankir atau pemilik), pengawaslah yang cenderung cari "obat", ikut pusing cari solusi.

Menurut saya, mustinya pengawas ya bersikap sebagai "enforcement officer" yang menjaga supaya aturan perbankan dipatuhi; kalau ada pelangaran dikenai sanksi sekaligus dilihat perkembangannya. Tanggungjawab penyehatan bank seharusnya dibebankan ke pemilik dan bankir/manajemen bank. Bukankah mereka yang mengajukan ijin operasi bank? Dan bukan pengawas bank di BI? Begitu bank sakit kok pengawas bank BI ikut repot ngobati?

Kalau akhirnya ada bank yang harus diselamatkan (di-bailout, misal karena krisis keuangan) idealnya musti pilih2. Kalau sehat dan prospektif ya diselamatkan. Tapi kalau sudah jelas2 tidak sehat, apalagi berkali-kali melanggar aturan, kenapa musti repot2 diselamatkan?

Menurut saya, kerancuan pola pikir semacam ini disebabkan oleh tidak adanya protokol/strategi pengawasan bank. Setumpuk aturan perbankan ada, tapi "grand strategy" nampaknya tidak ada. Akibatnya kalau ada bank bermasalah pengawas bank di BI "melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan", dan "tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan". Misalnya, ada yang berpendapat, bank sakit perlu disehatkan (oleh pengawas) supaya nilai jualnya tinggi. Buat saya, argumen itu "rubbish". Nilai jual bank setelah penyehatan bukan urusan pengawas. Mau sehat atau tidak, nilai jual berapapun, tanya ke pemilik dan bankirnya. Kalau tidak mau sehat, ya dilikuidasi saja. Tidak usah dibantu, apalagi dikasi uang trilyunan.

Dari dongeng FDIC itu juga bisa disimpulkan, "likuidasi bank" tidak selalu berarti bank yang dilikuidasi berhenti melayani nasabah. Nama bank (brand name) hilang, tapi digantikan oleh nama lain yang akan meneruskan pelayanan ke nasabah baik peminjam maupun deposan. (Bedakan dengan akuisisi karena akuisisi biasanya tidak melelang aset bank yang diakuisisi). Akan tetapi, tanpa strategi pengawasan, bank bermasalah jadi sesuatu yang "too hot to handle" untuk pengawasnya. Padahal penanganan bank bermasalah tidak harus berakhir dengan "chaos": nasabah demo, kekacauan sistem keuangan, "bank run", atau yang paling ironis, pengawas bank sampai mengorbankan kredibilitas mereka.

Sayang, nampaknya pengawas bank di BI tidak belajar dari sejarah...padahal kasus2 semacam ini baru sekitar 20 tahun yang lalu; belum terlalu lama. Apa mereka menderita amnesia??



Sri (not so hot)



Sumber dongeng:

http://www.bankinfosecurity.com/articles.php?art_id=975&opg=1 http://papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/WPIEA0522001.pdf?abstractid=879456&mirid=4 http://www.stern.nyu.edu/eco/wkpapers/workingpapers03/03-06White.pdf

http://economix.u-paris10.fr/pdf/sem_economix/Mayes-agency-problems.pdf

http://dialnet.unirioja.es/servlet/articulo?codigo=2242466&orden=107192&info=link